Sabtu, 05 Desember 2009

kab. blora

SEJARAH BLORA

ASAL USUL NAMA BLORA
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA. Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

BLORA ERA KERAJAAN

Blora dibawah Kadipaten Jipang

Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora dibawah Kerajaan Mataram

Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mtaram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = � hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)

Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan

Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

BLORA KABUPATEN


Blora sebagai Kabupaten

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan

Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.. Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN SURASENTIKO. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora Perubahan pola pemakaian tanah komunal pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

PERKEMBANGAN BANGSA INDONESIA SETELAH UUD 45 DIAMANDEMEN

PERKEMBANGAN BANGSA INDONESIA SETELAH UUD 45 DIAMANDEMEN

Sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara pada Republik Indonesia dimulai pada tahun 1945. Pada tahun itulah berdirinya Negara Republik Indonesia sebagai suatu kumpulan besar manusia, yang sehat jiwanya dan berkobar-kobar hatinya, menimbulkan suatu kesadaran batin yang dinamakan bangsa.
Persatuan Indonesia merupakan ide besar yang merupakan cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Persatuan Indonesia telah menjiwai proses penetapan bentuk negara. Bentuk negara yang telah dipilih harus memungkinkan terwujud dan terjaminnya Persatuan Indonesia.
Berdirinya Negara ini tidak hanya ditandai oleh Proklamasi dan keinginan untuk bersatu bersama, akan tetapi hal yang lebih penting adalah adanya UUD 1945 yang merumuskan berbagai masalah kenegaraan. Atas dasar UUD 1945 berbagai struktur dan unsur Negara mulai ada. Walaupun secara jelas pada masa itu belum ada lembaga-lembaga yang diamanatkan oleh UUD. Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya Aturan Tambahan dan Aturan Peralihan dalam UUD 1945.
Setelah UUD 1945 berlangsung selama 4 tahun diganti dengan Konstitusi RIS pada tahun 1949, kemudian diganti lagi dengan UUDS 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara pemilihan umum pada tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-Undang Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk Konstituante yang bertugas membuat UUD. Setelah bersidang selama beberapa tahun Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno secara sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke UUD 1945 ditandai dengan Dekrit Presiden tahun 1959.




Setelah tahun 1998 maka dimulai zaman reformasi dan zaman ini diakibatkan oleh berbagai krisis yaitu:
a. Krisis ekonomi.
b. Krisis Politik ditandai dengan adanya krisis kepemimpinan.
c. Krisis Konstitusi ditandai dengan otoriternya kepemimpinan nasional atas dasar konstitusi (executive heavy).
Krisis-krisis tersebut melahirkan gerakan reformasi yang menginginkan suatu perubahan di Indonesia. Suatu jaman perubahan yang dinamakan reformasi, menandai berakhirnya orde baru, dengan digantikan oleh orde reformasi atau zaman reformasi. Pada saat itu terjadi perubahan Konstitusi yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia.
Berkembanglah setelah itu wacana mengenai masyarakat madani atau dikenal sebagi civil society. Menurut Alexis de Tocqueville memandang civil society sebagai wilayah otonom dan memiliki dimensi politik dalam dirinya sendiri yang dipergunakan untuk menahan intervensi negara.
Menurut Al Mawardi ada beberapa syarat untuk mencapai keseimbangan dalam segi politik negara yang ideal menurut Islam:
a. Agama yang dihayati.
b. Penguasa yang berwibawa.
c. Keadilan yang menyeluruh. 
d. Sistem Pemerintahan.
e. Imamah (kepemimpinan).
f. Cara pemilihan atau seleksi imam. 
Dan banyak kriteria lain untuk format masyarakat madani, seperti adanya lembaga perwakilan. Demokratisasi, supremasi hukum, pengadilan yang bersih juga merupakan kriteria masyarakat madani.
Setelah tahun 1998 dimulai tuntutan-tuntutan akan perubahan mendasar di Republik Indonesia. Yang terpenting adalah dua tuntutan masyarakat pada saat itu adalah Supremasi Hukum dan Amandemen atau Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk kata Amandemen atau Perubahan maka yang dipakai dalam karya ilmiah ini adalah Perubahan Undang-Undang Dasar karena dalam bahasa Inggris, to amend the Constitution artinya mengubah Undang Undang Dasar dan Constitutional Amandement artinya perubahan Undang-Undang Dasar mempunyai makna yang berbeda. Dengan demikian kata mengubah dan perubahan yang berasal dari kata dasar “ubah” sama dengan to amend atau amandement, dan pemakaian kata yang lebih tepat adalah amandement. Lebih lanjut kata “amandement” itu diserap atau diIndonesiakan menjadi “amandemen”, dan kata mengubah berarti menjadikan lain atau menjadi lain dari, sedangkan kata perubahan berarti berubahnya sesuatu (dari asalnya).
Dengan demikian apabila kita menyebut kata perubahan berarti sama dengan “amandemen”, tetapi dalam Bahasa Indonesia resmi yang dipergunakan adalah kata “perubahan”. Dalam penulisan akan dipakai kata Perubahan Undang-Undang Dasar.
Pada tahun 1999 terjadi Perubahan I UUD 1945 yang mengatur beberapa hal penting seperti pembatasan jabatan presiden. Pada tahun 2000 terjadi Perubahan II UUD 1945 yang mengatur HAM dll.
Pada Perubahan I dan II terjadi beberapa perubahan yang mendasar dalam UUD 1945. Pada Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sampai tahun 2000 terdapat beberapa reduksi kekuasaan lembaga eksekutif seperti dalam pembatasan kekuasaan Presiden. Dalam banyak hal, Presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif. Dan Presiden harus memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Mahkamah Agung jika berkaitan dengan hukum . Sampai dengan Perubahan II belum ada kritik yang tajam terhadap Perubahan yang terjadi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dari mayoritas Ahli Hukum Tata Negara dan Para Politisi Partai Politik.
Akan tetapi setelah Perubahan III maka terjadi perubahan mendasar terhadap UUD 1945.
Secara garis besar dapat disimpulkan Perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 meliputi:
1. Akan adanya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Langsung. Hal ini berakibat besar terhadap tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Penghapusan Utusan Golongan dalam MPR dan terbentuknya DPD.
Setelah Perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 berlaku maka banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-Undang Dasar. Proses Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi salah satu sebab banyaknya kekurangan yang terjadi. Karena ada beberapa hal yang belum diatur dengan jelas, sehingga menimbulkan masalah secara tekhnis hukum. Hal ini dikritisi sebagian besar oleh praktisi hukum terutama Hukum Tata Negara. 
 Ketika sedang memasuki Proses Perubahan IV perubahan yang kurang dicoba diperbaiki. Perubahan IV menjadi suatu keharusan yang mau tidak mau harus ada. Karena dengan adanya Pemilihan Presiden Langsung, maka Presiden langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya. Dan tidak ada lagi tugas membuat GBHN yang dilakukan oleh MPR.
 Perubahan III dan IV UUD 1945 telah mengubah status dan peran MPR. Majelis Permusyawaratan Rakyat berubah dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang disebutkan secara eksplist dalam UUD 1945 menjadi lembaga negara. 
 Setelah adanya Perubahan UUD 1945 maka berakhirlah kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Dan berakhir juga kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur kelembagaan Negara di Indonesia.
 Hukum Tata Negara Indonesia menghadapi suatu masa perubahan besar dalam tugas dan wewenang lembaga Negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya lembaga Negara melakukan tugas dan wewenangnya dan menjalankannya. Dalam karya tulis ini akan dibahas mengenai tugas dan wewenang lembaga negara Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pembahasan lebih dikhususkan setelah Perubahan UUD 1945 dan undang-undang mengenai susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dan mendudukkan lembaga ini kembali didalam struktur ketatanegaraan Indonesia, setelah Perubahan UUD 1945 dalam peraturan-peraturan tentang struktur umum negara .
 Sebelum Perubahan UUD 1945 kedudukan MPR adalah sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat. Dalam kekuasaan Majelis Permusywaratan Rakyat ini seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi. Dalam menjalankan kekuasaan ini Majelis Permusyawaratan Rakyat bertindak seakan tidak pernah salah. Karena terkait dengan sistem ketatanegaraan, perekrutan anggota dan sistem pengambilan keputusan MPR (hal ini lebih dikhususkan pada masa orde baru).
 Dalam karya tulis ini Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia akan dibahas dalam sudut pandang tugas dan wewenang MPR. Dan akibat perubahan dari tugas dan wewenang tersebut sehingga dapat menjadi suatu pembahasan yang komprehensif mengenai lembaga negara ini. 

Kembali ke Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Belajar dari pergerakan dan pengalaman membangun Indonesia selama lebihd ari 63 tahun, tampaknya diperlukan suatu reorientasi atas Undang-Undang Dasar 1945 yang telah menempatkan cita-cita kedaulatan dan keadilan di seluruh bidang kehidupan masyarakat dan bangsa, pada posisi sangat sentral dan utama.
Kita memang sudah merdeka dari penjajahan kolonialisme dan membangun kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, kemerdekaan dan persatuan yang menjadi modal utama pembangunan tampak belum dapat sepenuhnya diwujudkan ke dalam kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, bangsa dan negara ini semakin jauh bahkan melenceng dari tercapainya kedaulatan, baik itu dalam politik, pertahanan dan keamananm apalagi dalam bidang ekonomi. Ditambah lagi ketidakadilan yang merajalela di berbagai bidang kehidupan bangsa dan ketidakmakmuran sebagian besar penduduk Indonesia.
Di samping itu, perlu juga kembali disegarkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan syarat dasar untuk tercapainya cita-cita dan tujuan kemerdekaan Indonesia jika kita memiliki: pertama, pemerintahan yang kuat, berdaulat, mampu dan melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; kedua, tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Untuk itu, maka pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat harus tetap berlandaskan sepenuhnya kepada Undang-Undang Dasar 1945 dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan pembangunan nasional. Sementara visi, misi, strategi, kebijakan program sekaligus kegiatan pembangunan nasional yang akan dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia juga harus selaras dan sejiwa dengan UUD 1945. Pemerintah belum dapat mendalami, menerjemahkan, serta mengeimplementasikan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 33 dalam pembangunan nasional.
Pemerintah sebagai pengembang amanat rakyat,menurut UUD 1945, justru harus kuat dan dominan dalam penguasaan pengelolaan sumber daya, baik sumber daya alam maupun mineral yang penting menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan catatan, semua dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Reorientasi kepada paradigma pembangunan nasional yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 ini sudah mendesak untuk ditetapkan dan dilaksanakan.
Pancasila sebagai Landasan Idiil, UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional, Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional, Ketahan Nasional sebagai Landasan Konsepsional, serta Rencana Pembangunan Nasional sebagai Landasan Operasional.


mengapa sebaiknya kita tidak kembali ke UUD 1945, yaitu:
1.UUD 1945 memungkinkan presiden untuk dipilih lagi seumur hidup.
2.Presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, tapi oleh MPR
3.MPR diisi oleh DPR dan Utusan Golongan yang jumlahnya sekitar 25% suara total.
4.Pemilihan Utusan Golongan tidak diatur oleh UUD
Dengan demikian, jika Prabowo ingin kembali ke UUD 1945, maka dia akan mendapatkan keempat poin itu.
Ini tidak berarti kita harus mensetankan konstitusi kita. UUD 1945 memang memuat banyak sekali semangat proklamasi yang harus dilaksanakan dengan taat. Akan tetapi UUD 1945 juga tidak luput dari kesalahan. Beberapa pasal yang mengatur pemerintahan justru membuka peluang cita-cita proklamasi itu tidak tercapai.

uu nomor 31 tahun 99

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian;
3
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
4.
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
4
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 3.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 7
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387
atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 8
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
5
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419,
Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut,
6
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
7
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19
(1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan
terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan
dirugikan.
(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga
barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat
mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu
paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka
untuk umum.
(3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
8
(4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan
penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.
(5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dimintakan kasasi ke Mahkaman Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Pasal 20
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).


BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
9
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36
yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp
150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN,
10
DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat
dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
11
(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung
sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir
rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti
yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu
juga mencabut pemblokiran.
Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos,
telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara
tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 31
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat
pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas
pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata
atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk
menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
12
Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut
umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan
gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 35
(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu,
kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh
terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan
keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga
terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus
menyimpan rahasia.
Pasal 37
13
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka
terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan
dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum
pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan
kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti
yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi,
maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang
yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat
dimohonkan upaya banding.
14
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 39
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk
pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal 40
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan
Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf
g Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat
diberlakukan.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam
bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak
hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
15
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan
sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung
jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma
agama dan norma sosial lainnya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa
membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana
korupsi.
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
16
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 19,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
17
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR: 140
18
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
UMUM
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan
usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak
pidana korupsi pada khususnya.
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk
memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin maningkat, karena
dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang
sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai
bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin
ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kepentingan masyarakat.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi
dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang
sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya.
19
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan
Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat.
Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur
dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatanperbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan
hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan
tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak
pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil
yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada
negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.
Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah korporasi sebagai
subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda
dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum
khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan
pemberatan pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi
20
pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara.
Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah
orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan
istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak
wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea
masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,
maka tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses
penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu
penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari
tersangka atau terdakwa.
Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana
korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim
sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan
hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat
terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan,
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan
perlindungan hukum dan penghargaan.
Selain memberikan peran serta masyarakat tersebut, Undang-Undang ini juga
mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan
diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun
21
sejak Undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti dengan Undang-undang ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam
ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian
negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya
tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai
pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pasal 3
Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2.
Pasal 4
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal
3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan
22
negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak
pidana tersebut.
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan
salah satu faktor yang meringankan.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Dalam ketentuan ini, frasa “Angkatan Laut atau Angkatan Darat” yang dimuat dalam Pasal
388 KUHP harus dibaca “Tentara Nasional Indonesia”.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang ini” adalah baik
hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
23
Pasal 15
Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan
pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidananya.
Pasal 16
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang
bersifat tradisional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer
keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara
optimal dan efektif.
Yang dimaksud dengan “bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan” dalam
ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah
pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan
putusan pengadilan.
huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
24
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka negara
berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas
barang tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk
mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
25
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang ditentukan untuk
didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap
lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan.
Pasal 26
Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan
(wiretaping)
Pasal 27
26
Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”, antara lain
tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan
industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang :
a. bersifat lintas sektoral;
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau
c. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan penuntutan,
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi lintas
sektoral dengan Instansi terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan”rekening simpanan” adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro,
deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan
itu, termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat berharga
(safedeposit box).
Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga, deviden, bunga obligasi, atau
keuntungan lain yang diperoleh dari simpanan tersebut.
27
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada penyidik dalam
rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab Undangundang
Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus
memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelapor” dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi
informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan
bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah
kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang
berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam Pasal ini adalah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34
28
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “petugas agama” dalam Pasal ini adalah hanya petugas agama
Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan
rahasia.
Pasal 37
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat
membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut
umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini
merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib
membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga
tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “putusan” yang diumumkan atau diberitahukan adalah petikan
surat putusan pengadilan
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
29
Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan negara.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya
eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “mengkoordinasikan” adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991
tentang Kejaksaan.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
30
Cukup jelas
Huruf e
Perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi
pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak pidana korupsi
dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik berupa piagam maupun premi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 3874



















PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tanggal 29 Maret 1971
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian
negara dan menghambat pembangunan Nasional;
b. bahwa Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan
masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan
oleh karenanya Undang-undang tersebut perlu diganti.
Mengingat :
1. Pasal-pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1) dan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang No. 13 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kepolisian Negara;
3. Undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia;
4. Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan;
5. Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kepegawaian.
Dengan Persetujuan :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG
MEMUTUSKAN :
I. Mencabut : Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960.
II. Menetapkan : Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
(1) a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian
negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
c. barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.;
d. barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya
atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan itu;
e. barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkatsingkatnya
setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419 dan 420
K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib.
(2) barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak
pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.
Pasal 2
Pegawai negeri yang dimaksud oleh Undang-undang ini, meliputi juga orangorang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang
menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
BAB II
TENTANG PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 3
Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuanketentuan
yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 4
Perkara korupsi harus didahulukan dari perkara-perkara yang lain untuk diajukan
ke Pengadilan guna diperiksa dan diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Pasal 5
Penyidik wajib dengan inisiatif sendiri melakukan tindakan yang dianggap perlu
untuk penyidikan, segera setelah ia menerima laporan-laporan atau timbul dugaan yang
beralasan dari penyidik tentang adanya tindak pidana korupsi.
Pasal 6
Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta-bendanya dan
harta-benda isteri/suami, anak dan setiap orang serta badan yang diketahui atau yang
diduga olehnya mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila
diminta oleh penyidik.
Pasal 7
(1) Kecuali ayah, ibu, nenek, kakek, saudara kandung, isteri/suami, anak cucu dari
tersangka, maka setiap orang wajib memberi keterangan menurut
pengetahuannya masing-masing sebagai saksi atau ahli kepada petugas
penyidik dalam perkara yang bersangkutan.
(2) Orang yang dibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi seperti tersebut
dalam ayat (1) pasal ini, dapat diperiksa sebagai saksi apabila tersangka
mengijinkan, dan orang itu sendiri menghendakinya.
(3) Sekalipun tanpa ijin dari tersangka, orang yang tersebut dalam ayat (2)pasal ini,
dapat diperkenankan oleh penyidik untuk memberi keterangan.
Pasal 8
Kewajiban memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 7 Undangundang
ini, berlaku juga bagi mereka yang menurut ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku harus merahasiakan pengetahuannya berhubung dengan martabat jabatan atau
pekerjaannya, kecuali petugas agama.
Pasal 9
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku mengenai
rahasia Bank seperti yang dimaksud Pasal 37 ayat (2) Undang-undang tentang
Pokok-pokok Perbankan, maka dalam perkara korupsi atas permintaan Jaksa
Agung, Menteri Keuangan dapat memberi ijin kepada Jaksa untuk minta
keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan dari tersangka.
(2) Dengan ijin Menteri Keuangan seperti tersebut dalam ayat (1), Bank wajib
memperlihatkan surat-surat Bank, dan memberikan keterangan tentang keadaan
keuangan dari tersangka.
(3) Ketentuan mengenai perincian tersebut dalam kedua ayat (1) dan(2) diatas,
harus diberikan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
penerimaan permintaan ijin itu oleh Menteri Keuangan.
Pasal 10
Dalam pemeriksaan pendahuluan saksi dilarang menyebut nama/alamat atau
hal-hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya pelapor.
Pasal 11
(1) Untuk kelancaran serta keseksamaan pemeriksaan perkara yang bersangkutan,
penyidik dapat setiap waktu meminta kepada tersangka dan setiap orang yang
ada hubungannya dengan perkara itu untuk memperlihatkan kepadanya segala
surat dan barang-barang lain yang dipandang perlu untuk diperiksa dan penyidik
dapat menyitanya.
(2) Mereka yang menurut ketentuan-ketentuan hukum harus merahasiakan
pengetahuannya berhubung dengan martabat, jabatan atau pekerjaannya tidak
dapat menolak untuk memperlihatkan surat-surat atau bagian surat-surat atau
bagian surat-surat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini kecuali petugas
agama.
Pasal 12
Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat-surat dan kirimankiriman
melalui Badan Pos, Telekomunikasi dan lain-lainnya yang dicurigai mempunyai
hubungan dengan perkara pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 13
(1) Penyidik setiap waktu berwenang memasuki setiap tempat yang dipandangnya
perlu dalam hubungannya dengan tugas pemeriksaa, dan jika keadaan
mengharuskannya, dibantu oleh alat kekuasaan negara.
(2) Dalam hal penghuni sebuah rumah menolak untuk dimasuki rumahnya, penyidik
hanya dapat masuk bersama-sama dua orang saksi. Dalam waktu 2 X 24 jam
tentang pemasukan rumah itu dibuat berita acaranya dan sehelai tembusannya
disampaikan kepada penghuni rumah yang bersangkutan untuk kepentingannya.
(3) Kewajiban untuk membuat berita-acara seperti tersebut diatas berlaku juga untuk
pensitaan yang dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) R.I.B.
BAB III
PEMERIKSAAN DIMUKA PENGADILAN
Pasal 14
Perkara korupsi dan diadili oleh Pengadilan Negeri menurut Undang-undang dan
Hukum Acara yang berlaku, sekedar dalam Undang-undang ini tidak ditentukan lain.
Pasal 15
Surat tuduhan dibuat dengan perumusan secara singkat tentang perbuatan yang
dituduhkan dengan menguraikan waktu dan tempat perbuatan itu dilakukan.
Pasal 16
Bilamana pada permulaan sidang, tuduhan tidak dapat cukup dimengerti oleh
terdakwa, maka Penuntut Umum atas permintaan Hakim wajib memberi keterangan
lebih lanjut atas surat tuduhan tersebut apabila menurut pandangan Hakim terdakwa
dapat dirugikan dalam pembelaannya.
Pasal 17
(1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan
memberikan keterangan tentang pembaktian bahwa ia tidak bersalah melakukan
tindak pidana korupsi.
(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia
tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dikerkenankan
dalam hal:
a. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa
perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan
keuangan atau perekonomian negara, atau
b. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa
perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
(3) Dalam hal terdakwa dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti
dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal
yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut
Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang
berlawanan.
(4) Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang pembuktian
seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai
hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut
Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana korupsi.
Pasal 18
(1) Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta-bendanya dan
harta-benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh
Hakim.
(2) Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan sidang
pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan setiap saksi bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Pasal 19
(1) Dalam pemeriksaan dimuka Pengadilan saksi dilarang menyebut nama/alamat
atau hal-hal yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya pelapor.
(2) Pada saat pemeriksaan akan dimulai, Hakim memberikan peringatan lebih
dahulu kepada saksi tentang adanya larangan tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 20
(1) Kecuali ayah, ibu, nenek, kakek, suadara kandung dan isteri/suami anak cucu
dari terdakwa, maka setiap orang wajib memberikan keterangan menurut
pengetahuannya masing-masing sebagai saksi atau ahli kepada Hakim dalam
perkara bersangkutan.
(2) Orang yang dibebaskan dari memberikan keterangan sebagai saksi seperti
tersebut dalam ayat (1) pasal ini dapat diperiksa sebagai saksi dengan pintu
tertutup apabila terdakwa dan Penuntut Umum mengijinkan, dan orang-orang itu
sendiri menghendakinya.
(3) Sekalipun tanpa ijin dari terdakwa dan Penuntut Umum, orang yang tersebut
dalam ayat (2) pasal ini dapat diperkenankan oleh Hakim untuk memberi
keterangan diluar sumpah dengan pintu tertutup.
Pasal 21
Apabila Hakim meminta, kewajiban memberi kesaksian dalam Pasal 20 ayat (1)
Undang-undang ini, berlaku juga bagi mereka, yang menurut ketentuan hukum yang
berlaku harus merahasiakan pengetahuannya berhubung dengan martabat, jabatan
atau pekerjaannya, kecuali petugas agama.
Pasal 22
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku mengenai
rahasia Bank seperti yang dimaksud Pasal 37 ayat (2) Undang-undang tentang
Pokok-pokok Perbankan, maka dalam perkara korupsi atas permintaan
Mahkamah Agung, Menteri Keuangan dapat memberi ijin kepada Hakim untuk
minta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan dari terdakwa.
(2) Dengan ijin Menteri Keuangan seperti tersebut dalam ayat (1), Bank wajib
memperlihatkan surat-surat Bank, dan memberikan keterangan tentang keadaan
keuangan dari terdakwa.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai perijinan tersebut dalam kedua ayat (1)dan (2)
diatas harus diberikan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
penerimaan ijin itu oleh Menteri Keuangan.
Pasal 23
(1) Jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang
pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan
diputus oleh Hakim tanpa kehadirannya.
(2) Bila terdakwa hadir pada sidang-sidang selanjutnya sebelum putusan dijatuhkan,
ia wajib diperiksa/didengar dan sidang dilanjutkan.
(3) Putusan Pengadilan diumumkan oleh Panitera dalam papan pengumuman
Pengadilan/Kantor Pemerintah Daerah.
(4) Terhadap putusan Pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa,
terdakwa atau kuasanya dapat memajukan banding.
(5) a. Jika ada alasan yang cukup menduga, bahwa seorang yang meninggal
dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah
lagi, telah melakukan suatu tindak pidana korupsi, maka Hakim atas
tuntutan Penuntut Umum, dengan putusan Pengadilan dapat
memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita.
b. Ketentuan tersebut pada ayat (4) tidak berlaku bagi orang yang
meninggal dunia dimaksud sub a.
(6) Setiap orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada
Pengadilan yang telah menjatuhkan putusan dimaksud ayat (5) dalam waktu tiga
bulan setelah pengumuman tersebut dalam ayat (3).

BAB IV
TENTANG MENGADILI ANGGOTA ANGKATAN
BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA
Pasal 24
(1) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang Pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh Anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia yang ada dibawah kekuasaan Pengadilan Militer masing-masing
dilakukan oleh petugas yang ditentukan dalam aturan Acara Pidana masingmasing.
(2) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang Pengadilan, dijalankan
menurut Acara Pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam Undangundang
ini.
Pasal 25
(1) Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh seorang yang harus diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer bersama-sama dengan seorang
yang harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, diadili
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dengan kekecualian yang
ditetapkan dalam Pasal 22 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
(2) Dalam hal perkara tersebut dalam ayat (1) pasal ini diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan "Peradilan Umum", maka diangkat Hakim Angkatan Bersenjata
sebagai Hakim Anggota.
(3) Dalam hal perkara tersebut dalam ayat (1) pasal ini diadili oleh Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer, maka diangkat Hakim dari Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum sebagai Hakim Perwira.
Pasal 26
Jaksa Agung selaku penegak Hukum dan Penuntut Umum tertinggi memimpin /
mengkoordineer tugas kepolisian represif/justisiel dalam penyidikan perkara-perkara
korupsi yang diduga atau mengandung petunjuk telah dilakukan oleh seorang yang
harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer maupun oleh seorang
yang harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer maupun oleh
seorang yang harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 27
Bila Jaksa Agung berpendapat bahwa ada cukup alasan untuk mengajukan
perkara korupsi dimuka Pengadilan maka ketentuan sebagaimana termaktub dalam
Pasal 10 Undang-undang No. 1 Drt. tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang No.
6 tahun 1950 (Lembaran-Negara 1950 No.53) yang mengatur tentang Hukum Acara
Pidana pada Pengadilan Ketentaraan, tidak dipergunakan.
BAB V
TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA
Pasal 28
Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1 ayat (1)
sub a, b, c, d, e dan ayat (2) Undang-undang ini, dihukum dengan hukuman penjara
seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan/ atau denda setinggi-tingginya
3 0 (tiga puluh) juta rupiah.
Selain dari pada itu dapat dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut dapat
Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini.
Pasal 29
Barangsiapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung tidak
langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap
terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 5 (lima)juta rupiah.
Pasal 30
Barangsiapa yang menurut Pasal 6, 7, 8, 9, 18, 20, 21, dan 22 Undang-undang
ini wajib memberi keterangan dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12
tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 5 (lima) juta rupiah.
Pasal 31
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan termaksud Pasal 10 dan 19 Undangundang
ini diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya 2 (dua) juta rupiah.
Pasal 32
Pelanggaran Pasal 220, 231, 421, 422, 429 dan Pasal 430 K.U.H.P. dalam
perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya 4 (empat)juta rupiah.
Pasal 33
Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman yang tersebut dalam
Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang ini adalah kejahatan.
Pasal 34
Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam K.U.H.P. maka
sebagai hukuman tambahan adalah:
a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan yang tak
berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau
yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu,
begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu,
baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan sitem hukum
ataupun bukan;
b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan tak
berujud yang termaksud perusahaan siterhukum, dimana tindak pidana korupsi
itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan
barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan
siterhukum ataupun bukan, akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan
barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini.
c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.
Pasal 35
(1) Perampasan barang-barang bukan kepunyaan sisterhukum tidak dijatuhkan,
apabila hak-hak pihak ketiga dengan iktikad baik akan terganggu.
(2) Jika di dalam putusan perampasan barang-barang itu termasuk juga barangbarang
pihak ketiga yang mempunyai iktikad baik, maka mereka ini dapat
mengajukan surat keberatan terhadap perampasan barang-barangnya kepada
Pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman
Hakim.
Dalam hal itu Jaksa diminta keterangannya, tetapi pihak yang berkepentingan
harus pula didengar keterangannya.
BAB VI
PERATURAN PERALIHAN
Pasal 36
Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan sebelum saat
Undang-undang ini berlaku, tetapi diperiksa dan diadili setelah Undang-undang ini
berlaku maka diperlukan Undang-undang yang berlaku pada saat tindak pidana
dilakukan.
BAB VII
PERATURAN PENUTUP
Pasal 37
Undang-undang ini disebut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tahun 1971 dan mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
pada tanggal 29 Maret 1971.
Presiden Republik Indonesia,
SOEHARTO
Jenderal T.N.I.
Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 29 Maret 1971.
Sekretaris Negara Republik Indonesia,
ALAMSJAH
Letnan Jenderal T.N.I.
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG No. 3 TAHUN 1971
tentang
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan manifestasi
dari perbuatan korupsi dalam arti yang luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh
yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai
seseorang di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri
sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikwalifiseer sebagai tindak pidana
korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan Hukum Pidananya
dan Acaranya.
Ayat (1)
Sub. a.
Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai
suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana
untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu "memperkaya diri sendiri" atau
"orang lain" atau "suatu badan."
Perkataan "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau
"suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang
memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber
kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan
penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk
memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi. Keuangan negara seperti yang dimaksud oleh Undang-undang ini
meliputi juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum yang menggunakan
modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana
yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan
lain-lain.
Tidak termasuk "keuangan negara" dalam undang-undang
ini ialah keuangan dari badan/badan hukum yang seluruhnya modal diperoleh dari
swasta misalnya P.T., Firma, C.V. dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bidang kewenangannya
seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
Sub. b.
Tindak pidana korupsi ini memuat sebagai perbuatan
pidana unsur "menyalah-gunakan kewenangan" yang ia peroleh karena jabatannya,
yang semuanya itu menyerupai unsur dalam Pasal 52 K.U.H.P. yang selain dari itu
memuat pula unsur yang "secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan
keuangan negara" serta dengan "tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan."
Ketentuan dalam sub b. ini adalah luas dalam rumusannya
karena mempergunakan istilah umum "menyalah-gunakan" dan tidak mengadakan
perincian seperti halnya dengan Pasal 52 K.U.H.P. dengan kata '.oleh karena
melakukan tindak pidana.......... yang ia peroleh karena jabatannya."
Sub. c.
Dengan perumusan Pasal 1 ayat (1) a dan b, maka istilah
korupsi dalam Undang-undang ini dipergunakan dalam arti yang luas, hingga adalah
layak apabila Pasal-pasal K.U.H.P. seperti tersebut dalam sub. c., dikwalifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi.
Sub. d.
Dalam K.U.H.P. tidak diancam dengan hukuman orangorang
yang memberi hadiah kepada pegawai yang dimaksud dalam Pasal 418 K.U.H.P.,
juga tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang memberi hadiah kepada
pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal-pasal Undang-undang ini.
Untuk mengisi kekosongan itu maka diadakan tindak
pidana korupsi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) d.
Sub. e.
Ketentuan dalam sub. c. ini dimaksudkan untuk
memidanakan seseorang yang tidak melaporkan pemberian atau janji yang diperolehya
dengan melakukan tindak-pidana-tindak-pidana yang dimaksud dalam Pasal 418, 419,
420 K.U.H.P.
Apabila tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut
dipenuhi dan pelaporan itu misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya
diketahui tentang peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan bahwa sipenerima itu
dapat dilepaskan dari penuntutan berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas. Hal
demikian tidak berarti bahwa tiap pelaporan tentang penerimaan pemberian/janji itu
membebaskan terdakwa dari kemungkinan penuntutan, apabila semua unsur dari tindak
pidana dalam Pasal 418, 419, 420 K.U.H.P. dipenuhi.
Ayat (2).
Karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian
negara, maka percobaan untuk melakukan tindak pidana tersebut dijadikan delik
tersendiri dan diancam dengan hukuman sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu
sendiri yang telah selesai dilakukan.
Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan
tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.
Pasal 2
Pengertian pegawai negeri dalam pasal ini tidak hanya mencakup pengertian
pegawai negeri dalam Pasal 92 K.U.H.P. dan pengertian pegawai negeri menurut
hukum Administrasi seperti diatur dalam Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian, yang meliputi orang-orang yang menerima
gajih atau upah dari keuangan negara atau daerah, tetapi selain dari itu juga meliputi
orang-orang yang menerima gajih atau upah dari suatu badan/badan-hukum yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lainnya yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat
dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial,
kemanusiaan dan lain-lain.
Dalam rumusan pasal ini tidak termasuk orang-orang yang menerima gaji atau
upah dari suatu Perseroan Terbatas, Firma, C.V. dan lain sebagainya yang seluruh
modalnya dari modal swasta.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Mengingat sifat tindak pidana korupsi yang istimewa maka tindakan-tindakan
pidana terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi memang harus dilaksanakan
dengan cepat dan effektif dalam batas waktu yang wajar.
Pasal 5
Ketentuan pasal ini adalah sesuai dengan ketentuan dalam R.I.B. yang juga
mewajibkan seorang pejabat melakukan tindakan penyelidikan apabila terdapat "dugaan
yang beralasan" tentang adanya suatu tindak pidana.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Berlainan dengan ketentuan Pasal 274 R.I.B. yang membagi orang-orang
yang dikecualikan dari kewajiban pemberian keterangan sebagai saksi dalam beberapa
golongan, maka pasal ini membatasi orang-orang yang dikecualikan itu pada mereka
yang mempunyai hubungan terdekat dengan tersangka.
Ayat (2).
Ketentuan dalam ayat ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 275
R.I.B. ayat (1).
Ayat (3).
Ketentuan dalam ayat ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 275
R.I.B. ayat (2).
Pasal 8
Pasal ini hanya menunjuk petugas agar khususnya petugas dalam agama
Katolik (Imam) yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan
rahasia.
Pada umumnya mereka yang harus menyimpan rahasia karena martabat,
jabatan atau, pekerjaannya ialah Dokter, Notaris, Advokat dan petugas agama
mempunyai hak untuk membebaskan diri dari kesaksian.
Oleh karena itu di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
ini sebagai Undang-undang yang ekseptionil sifatnya hak untuk membebaskan diri dari
kesaksian tersebut diberikan terbatas kepada petugas agama dalam arti tersebut di
atas. Tetapi justru karena hak-hak dari pejabat yang termasuk ketiga kategori lainnya
tersebut di atas dikurangi, maka keterangan-keterangan kesaksian dari mereka ini
hanya dimintakan sebagai upaya terakhir untuk melengkapi pembuktian.
Pasal 9
Ayat (1) dan (2)
Pada azasnya rahasia Bank dari para nasabah dipegang teguh seperti
apa yang diatur dalam Pasal 36 dari Undang-undang Pokok Perbankan.
Sesuai Dengan Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Pokok Perbankan,
ketentuan dalam Pasal 9 Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk memberi izin kepada Jaksa atas permintaan Jaksa Agung untuk minta
keterangan tentang keadaan keuangan dari tersangka dan memperlihatkan surat-surat
Bank tersangka.
Ayat (3).
Untuk mempercepat dan mempermudah terlaksananva penyelidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi maka ketentuan perijinan seperti tersebut di atas perlu
dibatasi hingga jangka waktu selama-lamanya 14 (empat belas) hari sejak penerimaan
permintaan ijin itu oleh Menteri keuangan.
Pasal 10
Pasal ini dimaksud untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor ialah
mereka yang memberikan keterangan maupun informasi mengenai suatu tindak pidana
korupsi, agar supaya pelapor tidak takut-takut akan diketahui nama/alamatnya yang
mungkin akan membahayakan keselamatannya, apabila ia dikenal oleh umum.
Karena sangat diharapkan laporan-laporan tentang tindak pidana korupsi yang
telah dilakukan atau diduga telah dilakukan maka perlulah diberikan perlindungan
terhadap para pelapor tersebut yang sungguh-sungguh akan membantu usaha
pemberantasan korupsi. Supaya perlindungan ini dapat dijamin maka saksi wajib
merahasiakan nama/alamat atau hal-hal yang memungkinkan dikenalnya pelapor baik
dalam phase pemeriksaan pendahuluan maupun dalam sidang pengadilan (Pasal 19).
Untuk mencegah pelanggaran ketentuan ini maka ditentukan sanksinya, yang
dimuat dalam Pasal 31.
Pasal 11
Ayat (1).
Pasal ini menetapkan beberapa ketentuan apabila penyidik menentukan
keterangan-keterangan tentang keuangan dan/atau harta benda tersangka.
Ayat (2).
Alasan-alasan pengadaan pasal ini adalah sesuai dengan penjelasan
Pasal 8 dan dihubungkan dengan Pasal 9 di atas.
Pasal 12
Dengan ditentukan bahwa surat-surat dan kiriman melalui Badan Pos,
Telekomunikasi dan lain-lainnya yang dapat dibuka dan diperiksa oleh penyidik itu
diduga keras mempunyai hubungan dengan perkara pidana korupsi yang sedang
diperiksa maka rahasia-rahasia surat kiriman yang oleh si pengirim dipercayakan
kepada Badan Pos. Telekomunikasi dan lain-lain-nya tetap terjamin.
Pasal 13
Ayat (1).
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada penyidik untuk baik dalam
keadaan yang sangat mendesak maupun tidak, dapat memasuki rumah tanpa ijin
terlebih dahulu dari Hakim.
Ayat (2) dan (3).
Dalam hal penghuni sebuah rumah menolak untuk dimasuki rumahnya
maka penyidik dapat masuk bersama-sama dua orang saksi. Ketentuan ini dibuat oleh
karena mempunyai hubungan dengan hak azasi seseorang, maka dalam
pelaksanaannya diadakan ketentuan yang dimaksud supaya penyidik tersebut
mempergunakan hak dan kewenangannya secara tanpa disalah-gunakan
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Menyimpang dari ketentuan yang berlaku surat tuduhan berisi uraian singkat
tentang pembuatan apa yang dituduhkan dengan menyebut pasal yang bersangkutan.
Selanjutnya diuraikan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh tersangka
sambil menghindari pemakaian istilah-istilah tehnis yang tidak perlu memuat semua
unsur inti bagi tindak pidana yang dimaksud, dengan disertai keterangan tentang kirakira
pada waktu-waktu dan di tempat mana perbuatan itu dilakukan.
Surat tuduhan dalam pasal ini tidak mensyaratkan penyebutan keadaan pada
waktu melakukan perbuatan itu terutama hal-hal yang dapat meringankan atau
memberatkan tersangka seperti dimaksud dalam Pasal 250 ayat (4) R.I.B.
Pasal 16
Untuk menjamin terlindungnya hak-hak terdakwa untuk memberikan
pembelaannya, maka Penuntut Umum memberikan penambahan keterangan atas surat
tuduhan secara singkat itu.
Hal ini hanya dapat dilakukan pada permulaan sidang secara lisan.
Pasal 17
Ayat (1).
Aturan mengenai pembebanan pembuktian tidak diikuti sepenuhnya
meskipun hal ini tidak berarti bahwa pasal ini menghendaki suatu pembuktian yang
terbalik.
Pembuktian yang terbalik akan mengakibatkan Penuntut Umum
dibebaskan. kan dari kewajiban untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya
seorang terdakwa, dan terdakwa sebaliknya dibebani pembuktian tentang salah atau
tidaknya.
Dalam pasal ini Hakim memperkenankan terdakwa memberi keterangan
tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti menurut hukum, tetapi segala
sesuatu yang dapat lebih memberikan kejelasan membuat terang tentang duduknya
suatu perkara.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Keterangan pembuktian itu adalah bahan penilaian bagi Hakim yang
dapat dipandang sebagai hal yang menguntungkan atau merugikan terdakwa.
Keterangan yang menguntungkan atau merugikan tersebut bukanlah suatu yang
mengandung di dalamnya suatu penghukuman atau pembebasan dari penghukuman.
Apabila terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian, Penuntut
Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan
(tegenbewijs).
Ayat (4).
Cukup jelas.
Pasal 18
Kalau terdakwa dalam perkara pidana korupsi tidak dapat memberikan
keterangan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan
tersebut selain dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi-saksi bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi juga dapat dipandang suatu petunjuk
adanya perbuatan memperkaya diri seperti dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sub a.
Berbeda dengan penilaian harta benda yang dahulu diselenggarakan oleh Badan
Koordinasi Penilik Harta Benda yang bersifat perdata (Civiel rechtelijk) maka kewajiban
terdakwa memberi keterangan tentang sumber kekayaannya hanya dapat dilakukan
dalam perkara pidana, korupsi.
Pasal 19
Penjelasan Pasal 10 berlaku di dalam pasal ini sekedar mengenai pemeriksaan
di muka Pengadilan.
Pasal 20
Ayat (1).
Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 7 berlaku juga bagi pemeriksaan
di muka Pengadilan.
Ayat (2) dan (3).
Jiwa dari ketentuan dalam ayat (2) dan (3) ini adalah sesuai antara lain
dengan Pasal 275 ayat (1) dan (2) R.I.B.
Pasal 21
Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 8 beserta penjelasannya berlaku pula
bagi pemeriksaan di muka Pengadilan.
Pasal 22
Ketentuan di dalam Pasal, 9 beserta penjelasannya berlaku juga bagi
pemeriksaan di muka Pengadilan.
Pasal 23
Ayat (1).
Hal yang ditetapkan dalam Pasal ini adalah didasarkan pada pemikiran
bahwa seorang terdakwa itu mempunyai hak untuk hadir dalam sidang pengadilan guna
mengajukan usaha-usaha pembelaannya ataupun guna mengemukakan segala sesuatu
yang ditanyakan oleh pemeriksa. Akan tetapi bila terdakwa tidak menggunakan haknya
itu maka Pengadilan dapat melakukan pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa dalam
sidang.
Ayat (2).
Bila dalam waktu pemeriksaan persidangan yang sedang berjalan dan
belum mencapai suatu putusan, terdakwa baru hadir pada sidang-sidang berikutnya ia
wajib didengar dan diperiksa dan sidang pengadilan berjalan terus.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Ayat (4).
Lazimnya untuk putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa dibuka kemungkinan bagi terdakwa untuk mengajukan perlawanan akan tetapi
dalam perkara korupsi untuk mempercepat prosedur, lembaga perlawanan tersebut
ditiadakan. Terhadap putusan pengadilan tersebut dapat langsung dimintakan banding
menurut peraturan-peraturan yang berlaku.
Ayat (5).
Putusan sebagai termaksud dalam Sub a. ayat ini dikeluarkan sebagai
suatu penetapan Hakim (beschikking).
Ayat (6).
Ketentuan ini diperlukan karena orang yang berkepentingan tidak
mempunyai hak banding terhadap putusan (penetapan) termaksud dalam ayat (5)
melainkan dapat mengajukan surat keberatan terhadap putusan (penetapan) tersebut.
Pasal 24
Cukup jelas. Lihat Penjelasan Umum.
Pasal 25
Cukup jelas. Lihat Penjelasan Umum.
Pasal 26
Penentuan dalam pasal ini bahwa di dalam menghadapi perkara-perkara korupsi
yang pelakunya terdiri dari orang/orang-orang yang harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer maupun orang/orang-orang yang harus diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum Pimpinan/koordinasi penyidikan berada
pada Jaksa Agung adalah suatu penjelmaan dari usaha keseragaman dalam
penyidikan.
Pasal 27
Sebagai kelanjutan dari ketentuan dalam Pasal 26 maka dalam hal Jaksa Agung
setelah berkonsultasi dengan panglima Angkatan Bersenjata berpendapat bahwa ada
cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di muka Pengadilan Atasan.
Yang Berhak Menghukum/Perwira Penyerah Perkara tidak menggunakan
wewenangnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1). b., yaitu untuk
menentukan bahwa perkara tersangka akan diselesaikan di luar Pengadilan dengan
menutup perkara tersebut atau dengan menyelesaikan secara disipliner.
Pasal 28
Ketentuan ini yang merupakan peningkatan dari ancaman pidana dalam
Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960 diadakan berhubung dengan kerugian dan
bahaya yang ditumbuhkan oleh tindak pidana korupsi.
Pasal 29
Oleh karena perbuatan menghalang-halangi, mempersulit, adalah maknanya
menguntungkan bagi tindak pidana korupsi, maka harus diancam dengan pidana yang
cukup berat.
Pasal 30
Sama dengan penjelasan bagi Pasal 29.
Pasal 31
Lihat penjelasan Pasal 10 dan Pasal 19.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari usaha pengembalian kerugian
keuangan negara ataupun kekacauan perekonomian negara, maka dianggap perlu
sekali atas perampasan barang-barang bukti pada perkara korupsi tidak terbatas pada
yang dimaksud dalam Pasal 39 K.U.H.P., sehingga hukuman tambahan itu merupakan
perluasan yang diatur dalam K.U.H.P.
Apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa maka
berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran hukuman denda.
Pasal 35
Ketentuan dalam pasal ini diadakan untuk melindungi pihak ketiga yang nyatanyata
mempunyai itikad baik.
Pasal 36
Untuk perkara-perkara yang dimaksud dalam pasal ini diperlakukan perundangundangan
yang ada pada saat tindak pidana korupsi dilakukan dengan maksud agar
dapat diikuti azas legalitas yang tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) K.U.H.P.
Azas legalitas adalah unsur fundamental dalam negara hukum, di samping
pengakuan hak-hak azasi yang harus dijunjung tinggi dan unsur peradilan bebas.
Penyampingan azas tersebut, yang mengakibatkan suatu perundang-undangan
sebagai suatu keseluruhan mempunyai daya laku surut (daya retro actief) dan dapat
ditafsirkan secara analogis, kadang-kadang dilakukan oleh Pemerintah yang otoriter dan
dalarn negara hukum hanya dapat dibenarkan oleh hukum darurat.
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 36 khususnya berlaku untuk perkara-perkara
transitoir, sehingga ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ini berlaku sepenuhnya untuk perbuatan yang dilakukan sesudah
Undang-undang ini ditetapkan.
Pasal 37
Cukup jelas.
(Termasuk Lembaran-Negara Republik Indonesia tahun 1971 No. 19).























UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana
korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus
dilakukan secara luar biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran
hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi,
perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3874).
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undangundang
ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan
Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A,
Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang
dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.”
4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A
yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 26A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188
ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.”
5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan
penyempurnaan pada ayat (2) frase yang berbunyi "keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya" diubah menjadi
"pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi keseluruhan
Pasal 37 adalah sebagai berikut:
“Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.”
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
dengan penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan penunjukan
ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sehingga
bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
“Pasal 37A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut
umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A,
Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 38A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak
pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta
benda tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada
perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan
berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat
membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada
memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa
pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan
hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga
juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat
melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”
7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai
Ketentuan Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di
antara Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:



“BAB VIA
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa
dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum
pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undangundang
ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan,
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan
ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.”
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B
yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 43B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387,
Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420,
Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita
Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.”
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 21 November 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 21 November 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 134



PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I. UMUM
Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai
interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai
penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya
kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan
meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu
dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana
korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem
pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan
adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa
petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi,
surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic
data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari
dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan
yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus
terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan
terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undangundang
ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata
terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui
setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang
disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak
pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili
negara.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum
pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari
Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan
rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif
kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi
dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umum hukum pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2 ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang
dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila
tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Pengertian "penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal
berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "advokat" adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 12A
Cukup jelas
Pasal 12B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12C
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 26A
Huruf a
Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang disimpan dalam
mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many
(WORM).
Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak
terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik
(e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Huruf b
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 37
Ayat (1)
Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap
terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas
pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah
(presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang
(negatief wettelijk).
Pasal 37A
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 38A
Cukup jelas
Pasal 38B
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan pada
perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana korupsi
berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok.
Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara
diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi
terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika
hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum
dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus
tersebut.
Pasal 38C
Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda
yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada
terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan
pengadilan memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada Undangundang
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-undang tersebut.
Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili
negara.
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4150






















UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1997
Tentang
NARKOTIKA
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
2. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/ atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi obat.
3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah Pabean.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah Pabean.
5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengekspor narkotika.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara moda, atau sarana angkutan apapun.
9. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan.
10. Pabrik obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.
11. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan satu atau tanpa berganti sarana angkutan.
12. Pecandu adalah orang yang menggunakan menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
13. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.
14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
15. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotik.
16. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika.
18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya.
19. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.
2
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(3) Penggolongajustifyn narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 3
Pengaturan narkotika bertujuan untuk:
a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 4
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 5
Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.
3
BAB III PENGADAAN
Bagian Pertama
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 6
(1) Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
(2) Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyusun rencana kebutuhan narkotika setiap tahun.
(3) Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 7
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengendalian, pengawasan, dan tanggung jawab Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 8
(1) Menteri Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4
(2) Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses produksi, bahan baku narkotika, dan hasil akhir dari proses narkotika.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/ataupenggunaan dalam proses produksi dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan
Pasal 10
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan, pelatihan, ketrampilan, dan penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Swasta, yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan, dapat memperoleh, menerima, menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Keempat
Penyimpangan dan Pelaporan
Pasal 11
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
5
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib disimpan secara khusus.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaaanya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
6
BAB IV IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Pertama Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 12
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
Pasal 13
(1) Importir narkotika harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap kali melakukan impor narkotika dari Menteri Kesehatan.
(2) Surat Persetujuan impor narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.
Pasal 14
Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.
Pasal 15
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.
7
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.
Pasal 16
(1) Eksportir narkotika harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan.
(2) Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus dilampiri dengan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 17
Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 18
Impor dan ekspor narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Pengangkutan
Pasal 20
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang, tetap berlaku bagi pengangkutan narkotika kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Pasal 21
(1) Setiap pengangkutan impor narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-
8
undangan yang berlaku di negara pengekspor dan surat persetujuan impor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
(2) Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 22
Penanggung jawab pengangkut impor narkotika yang memasuki Wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.
Pasal 23
(1) Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 24
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut.
(3) Nakhoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan, wajib melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.
9
(4) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.
Pasal 25
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Ketiga
Transito
Pasal 26
(1) Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
(2) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alat pengekspor dan pengimpor narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor narkotika.
Pasal 27
Setiap perubahan negara tujuan ekspor narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor narkotika.
10
Pasal 28
Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan transito narkotika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Pasal 30
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapandokumen impor, ekspor, dan/atau transito narkotika.
Pasal 31
(1) Importir narkotika memeriksa narkotika yang diimpornya dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri Kesehatan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyampaikan hasil penerimaan impor narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
11
BAB V PEREDARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 32
Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 33
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
(2) Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku baik alamiah maupun sintetis dapat diedarkan tanpa wajib daftar pada Departemen Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran narkotika dalam bentuk obat jadi dan peredaran narkotika yang berupa bahan baku diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 34
Setiap kegiatan dalam rangka peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 35
(1) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah dapat melakukan kegiatan penyaluran narkotika berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran narkotika dari Menteri Kesehatan.
12
Pasal 36
(1) Importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
(2) Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
a. eksportir;
b. pedagang besar farmasi tertentu;
c. apotek;
d. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
e. rumah sakit; dan
f. lembaga ilmu pengetahuan tertentu.
(3) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
d. rumah sakit;
e. lembaga ilmu pengetahuan; dan
f. eksportir.
(4) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah;
b. puskesmas; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 37
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat tertentu dan/atau pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
13
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyaluran narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 39
(1) Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. puskesmas;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. puskesmas;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien
(3) Rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal:
a. menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
14
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyerahan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB VI LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 41
(1) Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika.
(2) Label pada kemasan narkotika sebagaimana dimaksud dalan ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupkan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.
Pasal 42
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara publikasi dan pencantuman label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
16
BAB VII PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Pasal 44
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika.
(2) Pengguna narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah.
Pasal 45
Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 46
(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
17 Pasal 48
(1) Pengobatan dan/atau perawatan pecandu narkotika dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi.
(2) Rehabilitasi meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 49
(1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(2) Atau dasar persetujuan Menteri Kesehatan, lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika.
(3) Selain pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 50
Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Meneteri Sosial.
Pasal 51
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
1.Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan Keputusan Menteri Sosial.
2.
3.BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASANI
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 52
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya:
a. memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. mencegah dan memberantas segala bentuk penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
c. mencegah pelibatan anak di bawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang narkotika guna kepentingan pelayanan kesehatan; dan
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi pecandu narkotika baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 53
Pemerintah mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.
Pasal 54
(1) Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
19 (3) Ketentuan mengenai susunan, kedudukan organisasi dan tata kerja badan narkotika nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan Keputusan Presiden.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 55
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Menteri Kesehatan bertanggung jawab dalam pengendalian dan pengawasan terhadap importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga ilmu pengetahuan, dan lembaga rehabilitasi medis.
(2) Petugas yang melaksanakan pengawasan, dilengkapi dengan surat tugas.
(3) Dalam hal diketemukan adanya bukti permulaan yang cukup atau berdasarkan petunjuk permulaan yang patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini, Menteri Kesehatan berwenang mengenakan sanksi administratif dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
(4) Untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, sanksi administratif dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat ditangguhkan untuk sementara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 57
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(3) Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 58
Pemerintah memberi penghargaan kepada anggota masyarakat atau badan yang telah berjasa dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan/atau pengungkapan tindak pidana narkotika.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat, jaminan keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara pemberian penghargaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X PEMUSNAHAN
Pasal 60
Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;
b. kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. berkaitan dengan tindak pidana.
Pasal 61
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan; dan
c. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksanan dan pejabat yang memyaksikan pemusnahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 62
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, pemusnahan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kejaksaan, Departemen Kesehatan, dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang menguasai barang sitaan;
b. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, pemusnahan dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatan.
(2) Apabila dalam keadaan tertentu pejabat yang mewakili instansi sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) huruf a tidak dapat dipenuhi, maka pemusnahan narkotika dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan disaksikan pejabat dari tempat kejadian perkara tindak pidana tersebut.
(3) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemusnahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku bagi pemusnahan narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
23
BAB XI PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 63
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika, dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Pasal 64
Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 65
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kepada Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi masalah narkotika dapat diberikan wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana narkotika.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana narkotika;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana narkotika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana narkotika;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti perkara tindak pidana narkotika;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana narkotika;
f. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan tindak pidana narkotika; dan
g. menangkap dan menahan orang yang disangka melakukan tindak pidana narkotika.
Pasal 66
(1) Penyidik berwenang untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya, yang diduga keras mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang sedang dalam penyidikan.
(2) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lain yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika.
(3) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlangsung untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 67
(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup melakukan tindak pidana narkotika untuk paling lama 24 (dua puluh empat) jam.
(2) Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum mencukupi, maka atasan langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penengkapan tersebut untuk paling lama 48 (empat puluh delapan) jam.
Pasal 68
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung.
Pasal 69
(1) Penyidik yang melakukan penyitaan narkotika, atau yang diduga narkotika, atau yang mengandung narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
25 d. anda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.
(2) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil, penyidik wajib memberitahukan atau menyerahkan barang sitaan tersebut kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acara disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(3) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(4) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang menerima penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat;
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan barang sitaan oleh penyidik;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
d. dentitas lengkap pejabat yang melakukan serah terima barang sitaan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik menyisihkan sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, dan dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
(6) Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang sitaan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan sampel serta pemeriksaan di laboratorium diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan narkotika yang disita ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang narkotika dari penyidik, selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan narkotika tersebut untuk kepentingan pemngembangan ilmu pengetahuan, dan/atau dimusnahkan.
(2) Barang sitaan narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
(3) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal ayat (1) huruf a.
(4) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan Keputusan Jaksa Agung.
Pasal 71
(1) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia wajib memusnahkan tanaman narkotika yang diketemukan selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sejak saat diketemukan, setelah sebagian disisihkan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(2) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun diketemukan dan dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman narkotika; dan
d.tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak-pihak lain yang menyaksikan pemusnahan.
di.(3) Bagian narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk kepentingan pembuktian atau diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Pasal 72
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Pasal 73
(1) Apabila dikemudian hari terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diketahui bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan setiap orang atau badan yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Pasal 75
Dalam hal tertentu, hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan setiap orang atau badan, bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika yang dilakukan terdakwa.
Pasal 76
(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak perkara narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
28 (2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 77
(1) Narkotika dan alat yang digunakan di dalam tindak pidana narkotika atau yang menyangkut narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Narkotika yang dinyatakan dirampas untuk negara sebagimana dimaksud dalam ayat (1) segera dimusnahkan, kecuali sebagian atau seluruhnya ditetapkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Dalam hal alat yang dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, maka pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
(4) Tata cara pemusnahan dan pemanfaatan dan narkotika, alat dan hasil dari tindak pidana narkotika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
29
BAB XII KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman; atau
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan , atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 79
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau mnguasai narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) .
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
b. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah;
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 80
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 ( dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
b. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:

a. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 ( empat ratus juta rupiah);

(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
32 Pasal 81
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
b. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasai, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasai, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasai, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 82
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, alat menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 1.000.000.000,00 (satu miyar rupiah);
b. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, arau menukar narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda sebanyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. mengimppor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau tukar menukar narkotika Golongan III, dipidana pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda sebanyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidanan sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana matiatau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
34 c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisir, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi. dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
c. ayat (10 huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Pasal 83
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 78, 79,80, 81, dan Pasal 82, diancam dengan pidana yang sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal tersebut.
Pasal 84
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menggunakan narkotika terhadap orang lain dan memberikan narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidanan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
b. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 85
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri, dipidana pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. menggunakan narkotika Golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;
c. menggunakan narkotika Golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 86
(1) Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana.
Pasal 87
Barang siapa menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83 dan Pasal 84, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
36 Pasal 88
(1) Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 89
Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 90
Narkotika dan hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara.
Pasal 91
Penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam undang-undang ini kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebihdari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 93
Nakhoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 atau Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
37 Pasal 94
(1) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 95
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 96
Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok, kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 97
Barang siapa melakukan tindak pidana narkotioka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87, di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan pula ketentuan undang-undang ini.
Pasal 98
(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.
38 Pasal 99
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotik, dan dokter yang mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,. membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pimpinan pabrik obat tertentu yang memproduksi narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan Iyang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 100
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika, dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
39 BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 101
(1) Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.
(2) Prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan Menteri Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan dan pengawasan prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
40 BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 102
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaandari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) pada saat Undang-undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
41BAB XV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 103
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 104
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan perundang undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 67
42