Sabtu, 05 Desember 2009

PERKEMBANGAN BANGSA INDONESIA SETELAH UUD 45 DIAMANDEMEN

PERKEMBANGAN BANGSA INDONESIA SETELAH UUD 45 DIAMANDEMEN

Sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara pada Republik Indonesia dimulai pada tahun 1945. Pada tahun itulah berdirinya Negara Republik Indonesia sebagai suatu kumpulan besar manusia, yang sehat jiwanya dan berkobar-kobar hatinya, menimbulkan suatu kesadaran batin yang dinamakan bangsa.
Persatuan Indonesia merupakan ide besar yang merupakan cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Persatuan Indonesia telah menjiwai proses penetapan bentuk negara. Bentuk negara yang telah dipilih harus memungkinkan terwujud dan terjaminnya Persatuan Indonesia.
Berdirinya Negara ini tidak hanya ditandai oleh Proklamasi dan keinginan untuk bersatu bersama, akan tetapi hal yang lebih penting adalah adanya UUD 1945 yang merumuskan berbagai masalah kenegaraan. Atas dasar UUD 1945 berbagai struktur dan unsur Negara mulai ada. Walaupun secara jelas pada masa itu belum ada lembaga-lembaga yang diamanatkan oleh UUD. Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya Aturan Tambahan dan Aturan Peralihan dalam UUD 1945.
Setelah UUD 1945 berlangsung selama 4 tahun diganti dengan Konstitusi RIS pada tahun 1949, kemudian diganti lagi dengan UUDS 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara pemilihan umum pada tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-Undang Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk Konstituante yang bertugas membuat UUD. Setelah bersidang selama beberapa tahun Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno secara sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke UUD 1945 ditandai dengan Dekrit Presiden tahun 1959.




Setelah tahun 1998 maka dimulai zaman reformasi dan zaman ini diakibatkan oleh berbagai krisis yaitu:
a. Krisis ekonomi.
b. Krisis Politik ditandai dengan adanya krisis kepemimpinan.
c. Krisis Konstitusi ditandai dengan otoriternya kepemimpinan nasional atas dasar konstitusi (executive heavy).
Krisis-krisis tersebut melahirkan gerakan reformasi yang menginginkan suatu perubahan di Indonesia. Suatu jaman perubahan yang dinamakan reformasi, menandai berakhirnya orde baru, dengan digantikan oleh orde reformasi atau zaman reformasi. Pada saat itu terjadi perubahan Konstitusi yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia.
Berkembanglah setelah itu wacana mengenai masyarakat madani atau dikenal sebagi civil society. Menurut Alexis de Tocqueville memandang civil society sebagai wilayah otonom dan memiliki dimensi politik dalam dirinya sendiri yang dipergunakan untuk menahan intervensi negara.
Menurut Al Mawardi ada beberapa syarat untuk mencapai keseimbangan dalam segi politik negara yang ideal menurut Islam:
a. Agama yang dihayati.
b. Penguasa yang berwibawa.
c. Keadilan yang menyeluruh. 
d. Sistem Pemerintahan.
e. Imamah (kepemimpinan).
f. Cara pemilihan atau seleksi imam. 
Dan banyak kriteria lain untuk format masyarakat madani, seperti adanya lembaga perwakilan. Demokratisasi, supremasi hukum, pengadilan yang bersih juga merupakan kriteria masyarakat madani.
Setelah tahun 1998 dimulai tuntutan-tuntutan akan perubahan mendasar di Republik Indonesia. Yang terpenting adalah dua tuntutan masyarakat pada saat itu adalah Supremasi Hukum dan Amandemen atau Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk kata Amandemen atau Perubahan maka yang dipakai dalam karya ilmiah ini adalah Perubahan Undang-Undang Dasar karena dalam bahasa Inggris, to amend the Constitution artinya mengubah Undang Undang Dasar dan Constitutional Amandement artinya perubahan Undang-Undang Dasar mempunyai makna yang berbeda. Dengan demikian kata mengubah dan perubahan yang berasal dari kata dasar “ubah” sama dengan to amend atau amandement, dan pemakaian kata yang lebih tepat adalah amandement. Lebih lanjut kata “amandement” itu diserap atau diIndonesiakan menjadi “amandemen”, dan kata mengubah berarti menjadikan lain atau menjadi lain dari, sedangkan kata perubahan berarti berubahnya sesuatu (dari asalnya).
Dengan demikian apabila kita menyebut kata perubahan berarti sama dengan “amandemen”, tetapi dalam Bahasa Indonesia resmi yang dipergunakan adalah kata “perubahan”. Dalam penulisan akan dipakai kata Perubahan Undang-Undang Dasar.
Pada tahun 1999 terjadi Perubahan I UUD 1945 yang mengatur beberapa hal penting seperti pembatasan jabatan presiden. Pada tahun 2000 terjadi Perubahan II UUD 1945 yang mengatur HAM dll.
Pada Perubahan I dan II terjadi beberapa perubahan yang mendasar dalam UUD 1945. Pada Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sampai tahun 2000 terdapat beberapa reduksi kekuasaan lembaga eksekutif seperti dalam pembatasan kekuasaan Presiden. Dalam banyak hal, Presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif. Dan Presiden harus memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Mahkamah Agung jika berkaitan dengan hukum . Sampai dengan Perubahan II belum ada kritik yang tajam terhadap Perubahan yang terjadi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dari mayoritas Ahli Hukum Tata Negara dan Para Politisi Partai Politik.
Akan tetapi setelah Perubahan III maka terjadi perubahan mendasar terhadap UUD 1945.
Secara garis besar dapat disimpulkan Perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 meliputi:
1. Akan adanya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Langsung. Hal ini berakibat besar terhadap tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Penghapusan Utusan Golongan dalam MPR dan terbentuknya DPD.
Setelah Perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 berlaku maka banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-Undang Dasar. Proses Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi salah satu sebab banyaknya kekurangan yang terjadi. Karena ada beberapa hal yang belum diatur dengan jelas, sehingga menimbulkan masalah secara tekhnis hukum. Hal ini dikritisi sebagian besar oleh praktisi hukum terutama Hukum Tata Negara. 
 Ketika sedang memasuki Proses Perubahan IV perubahan yang kurang dicoba diperbaiki. Perubahan IV menjadi suatu keharusan yang mau tidak mau harus ada. Karena dengan adanya Pemilihan Presiden Langsung, maka Presiden langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya. Dan tidak ada lagi tugas membuat GBHN yang dilakukan oleh MPR.
 Perubahan III dan IV UUD 1945 telah mengubah status dan peran MPR. Majelis Permusyawaratan Rakyat berubah dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang disebutkan secara eksplist dalam UUD 1945 menjadi lembaga negara. 
 Setelah adanya Perubahan UUD 1945 maka berakhirlah kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Dan berakhir juga kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur kelembagaan Negara di Indonesia.
 Hukum Tata Negara Indonesia menghadapi suatu masa perubahan besar dalam tugas dan wewenang lembaga Negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya lembaga Negara melakukan tugas dan wewenangnya dan menjalankannya. Dalam karya tulis ini akan dibahas mengenai tugas dan wewenang lembaga negara Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pembahasan lebih dikhususkan setelah Perubahan UUD 1945 dan undang-undang mengenai susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dan mendudukkan lembaga ini kembali didalam struktur ketatanegaraan Indonesia, setelah Perubahan UUD 1945 dalam peraturan-peraturan tentang struktur umum negara .
 Sebelum Perubahan UUD 1945 kedudukan MPR adalah sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat. Dalam kekuasaan Majelis Permusywaratan Rakyat ini seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi. Dalam menjalankan kekuasaan ini Majelis Permusyawaratan Rakyat bertindak seakan tidak pernah salah. Karena terkait dengan sistem ketatanegaraan, perekrutan anggota dan sistem pengambilan keputusan MPR (hal ini lebih dikhususkan pada masa orde baru).
 Dalam karya tulis ini Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia akan dibahas dalam sudut pandang tugas dan wewenang MPR. Dan akibat perubahan dari tugas dan wewenang tersebut sehingga dapat menjadi suatu pembahasan yang komprehensif mengenai lembaga negara ini. 

Kembali ke Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Belajar dari pergerakan dan pengalaman membangun Indonesia selama lebihd ari 63 tahun, tampaknya diperlukan suatu reorientasi atas Undang-Undang Dasar 1945 yang telah menempatkan cita-cita kedaulatan dan keadilan di seluruh bidang kehidupan masyarakat dan bangsa, pada posisi sangat sentral dan utama.
Kita memang sudah merdeka dari penjajahan kolonialisme dan membangun kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, kemerdekaan dan persatuan yang menjadi modal utama pembangunan tampak belum dapat sepenuhnya diwujudkan ke dalam kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, bangsa dan negara ini semakin jauh bahkan melenceng dari tercapainya kedaulatan, baik itu dalam politik, pertahanan dan keamananm apalagi dalam bidang ekonomi. Ditambah lagi ketidakadilan yang merajalela di berbagai bidang kehidupan bangsa dan ketidakmakmuran sebagian besar penduduk Indonesia.
Di samping itu, perlu juga kembali disegarkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan syarat dasar untuk tercapainya cita-cita dan tujuan kemerdekaan Indonesia jika kita memiliki: pertama, pemerintahan yang kuat, berdaulat, mampu dan melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; kedua, tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Untuk itu, maka pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat harus tetap berlandaskan sepenuhnya kepada Undang-Undang Dasar 1945 dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan pembangunan nasional. Sementara visi, misi, strategi, kebijakan program sekaligus kegiatan pembangunan nasional yang akan dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia juga harus selaras dan sejiwa dengan UUD 1945. Pemerintah belum dapat mendalami, menerjemahkan, serta mengeimplementasikan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 33 dalam pembangunan nasional.
Pemerintah sebagai pengembang amanat rakyat,menurut UUD 1945, justru harus kuat dan dominan dalam penguasaan pengelolaan sumber daya, baik sumber daya alam maupun mineral yang penting menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan catatan, semua dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Reorientasi kepada paradigma pembangunan nasional yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 ini sudah mendesak untuk ditetapkan dan dilaksanakan.
Pancasila sebagai Landasan Idiil, UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional, Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional, Ketahan Nasional sebagai Landasan Konsepsional, serta Rencana Pembangunan Nasional sebagai Landasan Operasional.


mengapa sebaiknya kita tidak kembali ke UUD 1945, yaitu:
1.UUD 1945 memungkinkan presiden untuk dipilih lagi seumur hidup.
2.Presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, tapi oleh MPR
3.MPR diisi oleh DPR dan Utusan Golongan yang jumlahnya sekitar 25% suara total.
4.Pemilihan Utusan Golongan tidak diatur oleh UUD
Dengan demikian, jika Prabowo ingin kembali ke UUD 1945, maka dia akan mendapatkan keempat poin itu.
Ini tidak berarti kita harus mensetankan konstitusi kita. UUD 1945 memang memuat banyak sekali semangat proklamasi yang harus dilaksanakan dengan taat. Akan tetapi UUD 1945 juga tidak luput dari kesalahan. Beberapa pasal yang mengatur pemerintahan justru membuka peluang cita-cita proklamasi itu tidak tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar