Sabtu, 05 Desember 2009

uu no 46 tahun 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2009 2009
TENTANG
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum
yang bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara yang tertib, sejahtera, dan berkeadilan
dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa tindak pidana korupsi telah menimbulkan
kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara sehingga upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan
secara terus-menerus dan berkesinambungan yang
menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik
kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber daya
lain, serta mengembangkan kesadaran, sikap, dan
perilaku masyarakat antikorupsi agar terlembaga dalam
sistem hukum nasional;
c. bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar
pembentukannya ditentukan dalam Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, sehingga perlu diatur kembali Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dengan undang-undang yang baru;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24A ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang . . .
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4958);
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3327) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4379);
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4150);
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358);
8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4401);
Dengan . . .
- 3 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA
KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
2. Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan
sebagai hakim tindak pidana korupsi.
3. Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat
berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-
Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.
4. Penuntut Umum adalah penuntut umum sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB II
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua . . .
- 4 -
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 3
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap
ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal 4
Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap kotamadya
yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan
negeri yang bersangkutan.
BAB III
KEWENANGAN
Pasal 5
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya
pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 6
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara:
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya
adalah tindak pidana korupsi; dan/atau
c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang
lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Pasal 7
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat juga berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia.
BAB IV . . .
- 5 -
BAB IV
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
Susunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Hakim; dan
c. panitera.
Bagian Kedua
Pimpinan
Pasal 9
(1) Pimpinan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas
seorang ketua dan seorang wakil ketua.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan negeri karena
jabatannya menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung
jawab atas administrasi dan pelaksanaan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
(4) Dalam hal tertentu ketua dapat mendelegasikan
penyelenggaraan administrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) kepada wakil ketua.
Bagian Ketiga
Hakim
Pasal 10
(1) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas
Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
(2) Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah
Agung.
(3) Hakim . . .
- 6 -
(3) Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) selama menangani perkara tindak pidana
korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara lain.
(4) Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
pengadilan tinggi, dan pada Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah
Agung.
(5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 11
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Karier, calon harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya
selama 10 (sepuluh) tahun;
b. berpengalaman menangani perkara pidana;
c. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang
tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas;
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat
dalam perkara pidana;
e. memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana
korupsi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung; dan
f. telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan
berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya
selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi,
dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung;
e. berumur . . .
- 7 -
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun
pada saat proses pemilihan untuk Hakim ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi,
dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung;
f. tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
g. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang
tinggi serta reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i. melaporkan harta kekayaannya;
j. bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana
korupsi; dan
k. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan
lain selama menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi.
Pasal 13
(1) Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc
pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan
tinggi, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi
yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat
yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan
transparan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan
sebagai Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (4) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
Pasal 14
(1) Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc diambil
sumpah atau janji menurut agamanya oleh:
a. Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung;
b. Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim ad hoc pada
pengadilan tinggi;
c. Ketua pengadilan negeri untuk Hakim ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut:
Sumpah . . .
- 8 -
Sumpah:
”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi
kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan
bangsa.”
Janji:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan
bangsa.”
Pasal 15
Hakim ad hoc dilarang merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu
perkara yang diperiksa olehnya;
c. pimpinan atau anggota lembaga negara;
d. kepala daerah;
e. advokat;
f. notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah;
g. jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; atau
h. pengusaha.
Pasal 16
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Hakim
ad hoc yang memangku jabatan struktural dan/atau
fungsional harus melepaskan jabatannya.
Bagian Keempat . . .
- 9 -
Bagian Keempat
Pemberhentian Hakim
Pasal 17
Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani selama 3 (tiga) bulan berturutturut
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
c. terbukti tidak cakap dalam menjalankan tugas;
d. telah memasuki masa pensiun, bagi Hakim Karier; atau
e. telah selesai masa tugasnya, bagi Hakim ad hoc.
Pasal 18
Hakim diberhentikan tidak dengan hormat karena:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana
kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan; atau
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
Pasal 19
(1) Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18, diberhentikan sementara dari jabatannya oleh:
a. Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan
tinggi;
b. Presiden atas usul Mahkamah Agung untuk Hakim ad
hoc pada Mahkamah Agung.
(2) Pemberhentian sementara karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, dilakukan apabila
Hakim yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai
tersangka.
(3) Pemberhentian sementara karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(4) Dalam . . .
- 10 -
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) telah berakhir tanpa dilanjutkan dengan
pemberhentian maka pemberhentian sementara harus
dicabut.
(5) Hakim yang diberhentikan sementara dilarang menangani
perkara.
Pasal 20
Tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak
dengan hormat, dan pemberhentian sementara, serta hak-hak
Hakim yang dikenakan pemberhentian dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Hak Keuangan dan Administratif Hakim
Pasal 21
(1) Hakim mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan tanpa membedakan kedudukan
Hakim.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keenam
Panitera
Pasal 22
(1) Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat ditetapkan
adanya kepaniteraan khusus yang dipimpin oleh seorang
panitera.
(2) Ketentuan mengenai susunan kepaniteraan, persyaratan
pengangkatan, dan pemberhentian pada jabatan
kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab,
susunan organisasi, dan tata kerja kepaniteraan khusus
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dengan Peraturan
Mahkamah Agung.
BAB V . . .
- 11 -
BAB V
TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
Pasal 24
(1) Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyediakan informasi
yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik
mengenai penyelenggaraan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan informasi yang
bersifat terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
BAB VI
HUKUM ACARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 26
(1) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim
berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim
dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari
Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
(2) Dalam hal majelis hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang hakim, maka komposisi
majelis hakim adalah 3 (tiga) banding 2 (dua) dan dalam
hal majelis hakim berjumlah 3 (tiga) orang hakim, maka
komposisi majelis hakim adalah 2 (dua) banding 1 (satu).
(3) Penentuan . . .
- 12 -
(3) Penentuan mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh ketua pengadilan masing-masing atau
Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan
kepentingan pemeriksaan perkara kasus demi kasus.
(4) Ketentuan mengenai kriteria dalam penentuan jumlah dan
komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Mahkamah Agung.
Bagian Kedua
Penetapan Hari Sidang
Pasal 27
(1) Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menetapkan
susunan majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (3) dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan penyerahan
berkas perkara.
(2) Sidang pertama perkara Tindak Pidana Korupsi wajib
dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak penetapan majelis Hakim.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 28
(1) Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan,
termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan,
harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Hakim menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan
di muka persidangan baik yang diajukan oleh penuntut
umum maupun oleh terdakwa.
Pasal 29 . . .
- 13 -
Pasal 29
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili, dan diputus
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam
waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
Pasal 30
Pemeriksaan tingkat banding Tindak Pidana Korupsi diperiksa
dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi.
Pasal 31
Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak Pidana Korupsi diperiksa
dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 32
Dalam hal putusan pengadilan dimintakan peninjauan
kembali, pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi diperiksa
dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Mahkamah Agung.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 33
(1) Biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang ini dibebankan pada anggaran
Mahkamah Agung yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
(2) Mahkamah Agung setiap tahun wajib menyusun rencana
kerja dan anggaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
BAB VIII . . .
- 14 -
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi atau yang sedang diperiksa pada
setiap tingkat pemeriksaan, tetap diperiksa dan diadili
sampai perkara tindak pidana korupsi tersebut diputus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa oleh
pengadilan negeri atau yang sedang diperiksa pada setiap
tingkat pemeriksaan, tetap diperiksa dan diadili sampai
perkara tindak pidana korupsi tersebut diputus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 35
(1) Dengan Undang-Undang ini untuk pertama kali
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada setiap
pengadilan negeri di ibu kota provinsi.
(2) Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah
hukum provinsi yang bersangkutan.
(3) Khusus untuk Daerah Khusus Ibu kota Jakarta,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum provinsi Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta.
(4) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) dibentuk paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 36 . . .
- 15 -
Pasal 36
Sebelum terbentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, tindak pidana korupsi
yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum, diperiksa,
diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Hakim ad hoc
yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
tetap bertugas sampai dengan berakhirnya masa jabatan
Hakim ad hoc yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Dalam hal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 35 tidak tersedia
Hakim ad hoc yang mempunyai keahlian yang diperlukan
dalam pemeriksaan perkara, ketua pengadilan negeri dapat
meminta Hakim ad hoc pada ketua pengadilan negeri dalam
daerah hukum pengadilan tinggi lainnya.
Pasal 39
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Pasal
53 sampai dengan Pasal 62 dari Bab VII mengenai pemeriksaan
di sidang pengadilan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4250) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 16 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 155
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2009
TENTANG
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I. UMUM
Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam
berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga
memerlukan penanganan yang luar biasa. Selain itu, upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus
menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung oleh berbagai
sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya
seperti peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan
hukum guna menumbuh kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang
anti korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan
ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19
Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa
pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut perlu pengaturan mengenai Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dalam suatu undang-undang tersendiri.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan satusatunya
yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana
korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum. Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap ibu kota kabupaten/kota
yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana
dan prasarana. Namun untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang
ini, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan pada
setiap ibukota provinsi.
Dalam . . .
- 2 -
Dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc
yang persyaratan pemilihan dan pengangkatannya berbeda dengan Hakim
pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena
keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi,
baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya
cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan
perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa
pemerintah.
Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan sesuai
dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini. Kekhususan hukum acara tersebut antara lain
mengatur:
a. penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua dan wakil
ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
b. mengenai komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan baik pada tingkat pertama, banding maupun kasasi;
c. jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak pidana
korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan;
d. alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti
yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
Agar tidak terjadi kekosongan hukum pada saat Undang-Undang
berlaku, diatur mengenai masa transisi atau peralihan terhadap
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang ini, antara lain mengenai keberadaan
Hakim ad hoc. Hakim ad hoc yang telah diangkat berdasarkan undangundang
sebelum Undang-Undang ini berlaku, tidak perlu diangkat
kembali, tetapi langsung bertugas untuk masa jabatan 5 (lima) tahun
bersamaan dengan masa jabatan Hakim ad hoc yang diangkat
berdasarkan Undang-Undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
- 3 -
Pasal 2
Ketentuan ini mengingat ketentuan Pasal 24A ayat (5) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal
15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menghendaki pembentukan pengadilan khusus
diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Yang dimaksud dengan ”satu-satunya pengadilan” adalah
pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang
penuntutannya diajukan oleh penuntut umum.
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”tindak pidana korupsi” adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tindak pidana pencucian uang”
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Yang dimaksud dengan “tindak pidana asalnya” adalah yang
lazim dikenal dengan predicate crime.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9 . . .
- 4 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “hal tertentu” misalnya antara lain
masalah yang berkaitan dengan beban perkara atau beban
tugas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
. Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan ini pengangkatan dan pemberhentian
Hakim ad hoc oleh Presiden bersifat meresmikan calon yang
diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .
- 5 -
Huruf e
Dalam proses pelatihan untuk memperoleh sertifikasi khusus
sebagai hakim tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung
mengikutsertakan Komisi Yudisial untuk memberikan materi
ajar khususnya mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Sehat jasmani dan rohani dalam ketentuan ini dibuktikan
dengan surat keterangan dokter dari rumah sakit pemerintah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “berpengalaman di bidang hukum”
antara lain hukum keuangan dan perbankan, hukum
administrasi, hukum pertanahan, hukum pasar modal, dan
hukum pajak.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”pengurus partai politik” termasuk
sayap partai politik.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
- 6 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “masyarakat” antara lain tokoh
masyarakat, akademisi, dan praktisi hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Pelepasan jabatan dalam ketentuan ini bersifat sementara selama
menjadi Hakim ad hoc. Dalam hal Hakim ad hoc memegang
jabatan fungsional sebagai dosen pada perguruan tinggi dan
berstatus pegawai negeri, yang bersangkutan menjalani cuti di luar
tanggungan negara.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sakit jasmani atau rohani secara
terus menerus” adalah sakit yang menyebabkan yang
bersangkutan tidak mampu lagi melakukan tugas dan
kewajibannya dengan baik yang dibuktikan dengan surat
keterangan dari dokter.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
- 7 -
Pasal 18
Huruf a
Hakim yang dapat dikenakan ketentuan ini apabila pidana
yang dijatuhkan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela”
adalah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap,
perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar
pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Mengenai pemberhentian Hakim Karier dilakukan
berdasarkan peraturan perundang undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan jangka waktu 6 (enam) bulan yang ditentukan
pada ayat ini dimaksudkan untuk menunggu hasil
pemeriksaan terhadap pelanggaran tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23 . . .
- 8 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini sebagai wujud akuntabilitas Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi melalui keterbukaan informasi mengenai
penyelenggaraan pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketua pengadilan” adalah Ketua
Pengadilan Negeri untuk pemeriksaan perkara tindak pidana
korupsi pada tingkat pertama dan ketua pengadilan tinggi
untuk pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi pada
tingkat banding.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27 . . .
- 9 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Penyadapan sebagai alat bukti hanya dapat dilakukan
terhadap seseorang apabila ada dugaan berdasarkan laporan
telah dan/atau akan terjadi tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Dalam ketentuan ini, Hakim ad hoc yang telah diangkat
berdasarkan undang-undang sebelum Undang-Undang ini berlaku,
tidak perlu diangkat kembali, dan langsung bertugas untuk masa 5
(lima) tahun bersamaan dengan masa jabatan Hakim ad hoc yang
diangkat berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 38 . . .
- 10 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5074

Tidak ada komentar:

Posting Komentar